Di Indonesia, bambu dinilai sebagai sesuatu yang bernilai jual rendah. Hanya dipakai untuk membuat tangga atau kursi yang harganya tergolong murah. Hal ini berbeda dengan di luar negeri. Bambu sangat dihargai dan mahal. Malah dijadikan sebagai material masa depan.
Adang Muhidin, ketua pembina Indonesia Bamboo Community, “Kalau misalkan diperhatikan, mulai dari lahir kita sampai meninggal, pasti kita tidak lepas daripada bambu. Kalau dari dulu, mulai dari lahir itu memotong ari-ari itu dengan bambu. Sampai meninggal pun itu dengan bambu ditutupinnya. Kemudian, mengusir penjajah pun dengan bambu. Tapi kenapa sekarang, dengan generasi yang, generasi sekarang, bambu itu merasa sebagai barang buangan."
"Disepelekan, malah dijadikan sebagai, selalu identik bahwa bambu itu identik dengan orang miskin. Mangkanya saya kembali ke Bandung, kembali ke Indonesia, pengen bergerak ke bambu, pengen meningkatkan nilai ekonomis dari bambu itu sendiri. Dan enggak ada kata-kata bahwa bambu itu temannya orang miskin. Kita pengen bambu itu temannya orang kaya.”
“Kenapa sih bambu yang dulu pernah bisa mengusir penjajah, kenapa sih di Indonesia yang sebagai pusatnya bambu itu ada ¼ varietas bambu dunia ada di Indonesia. Dan siapa sih yang enggak kenal dengan Jawa Barat, yang alat musiknya paling kaya di seluruh dunia. Tapi kenapa di Indonesia yang begitu kaya dengan bambu, malah dianggap sebagai buangan aja.”
Meski berlatar belakang teknik metalorgi dan melanjutkan S2 nya di Jerman selama 6 tahun, ia justru tertarik untuk mengembangkan bambu dan membuat bambu naek kelas.
“Dalam 1 tahun, saya berusaha mengenal. Nah tahun ke 2, baru ada beberapa orang yang bergabung ke Indonesia Bamboo Community dan sampai saat ini sudah terbentuk 2 Indonesian bamboo community, sabang bamboo community, dan juga ada beberapa grup musik dari luar negeri juga yang semua alat musiknya dari kita. Untuk kedepannya, kita bakal membuat kontes bambu yang pertama di dunia. Sebelum itu, pada bulan Desember kita akan mengadakan Internasional Bambu Festival. Kemudian untuk alat musiknya kita masih banyak impian-impian yang lain. Kita ingin membuat piano, piano bambu.”
Hak paten menjadi hal yang pelik pada karya anak bangsa. Meski suara yang dihasilkan tidak jauh berbeda dari alat musik biasa, sesi dari perjuangan Indonesia Bambu Community adalah bagaimana menaikkan nilai jual bambu.
“Hak paten, sampai saat ini belum ada hak. Belum ada alat musik yang kita bikin paten, tapi kita sudah mendapatkan bantuan dari salah satu TV swasta. Itu di Indonesia, insyaallah tahun ini, selain hak merek dagang kita, kita ada brand merek kita, namanya Virage Awi. Namanya itu juga menyentil juga masyarakat dan menyentil juga pemerintah juga. Kalau di bahasa Sundakan, kalau merasa orang Sunda pasti tahu virage awi atau hanyalah bambu.”
“Kita itu selalu ada alat musik yang kita keluarkan selalu sukses, mangkanya di IBC setiap 3 bulan pasti ada model yang terbaru. Mangkanya ada yang niru, kita udah keluarin yang terbaru. Jadi sampai kapan pun, ini biola pun kita sudah ada 5 model. Untuk biola, gitar, kita udah punya punya 3 model. Dan untuk alapkir, kita masih belum mau jual, kita menunggu hak paten. Karena itu yang pertama di dunia, jadi kita patenkan dulu.”
“Kita sih enggak masalah, misalkan enggak laku di Indonesia, kita kejar ke luar negeri. Biar mereka tahu di luar negeri, dulu kita dijajah sama orang-orang itu, sekarang kita jajah mereka dengan alat musik dari bambu.”
“Ya mudah-mudahan, belum mungkin yah. Tapi saya yakin suatu saat pemerintah akan memperhatikan kita. Tapi bagi kita, enggak ada atau ada pemerintah pun kita tetap jalan.”
Video:
Foto:
No comments:
Post a Comment
Komentar adalah segalanya bagi penulis. Deretan susunan kalimat, entah itu pro atau pun kontra. Interaksi tersebut, bagaimanapun juga bertujuan menciptakan diskusi yang membangun. Dan saya, Clenoro Suharto, merasakan manfaat itu. Terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar pada blog https://rakyatjelataindonesiarajin.blogspot.com/